RSS

Di Penghujung Penantian

Hari bahagia itu adalah kado terindah dalam hidupnya yang tak pernah ia duga, setelah berbagai terjangan gelombang cobaan yang ia hadapi. Akhirnya ia mengakhiri masa kesendiriannya, melepas status lajangnya dengan hadirnya seorang pangeran yang akan menjadi imam baginya dan anak mereka kelak. Hatinya mengharu biru hingga tak terasa air mata mengalir membasahi pipinya, bagaikan air hujan yang membasahi permukaan bumi. Wanita itu sedang duduk santai di dekat jendela kamarnya, memandangi bias-bias cahaya jingga di sore hari. Angannya menerawang waktu, mengingat kembali setiap riak alur kehidupannya hingga hari bahagia itu tiba.

Semester 7 yang menguras waktu, tenaga dan pikiran. Nisa berkutat pada penelitiannya di laboratorium untuk tugas akhirnya. Nisa adalah mahasiswa jurusan kimia di salah satu universitas di Indonesia. Pukul 08.00 WIB, Nisa sudah berada di ruang diskusi laboratorium. Dia memperbarui beberapa bagian proposal yang akan diajukan pada dosen pembimbingnya. "Heey Nisaaa...ngelamun aja, mikirin apa sih?" seru Silvi mengagetkannya. "Astaghfirulloh...kaget tau! salam dulu kek, pagi2 udah bikin orang jantungan!" ketus Nisa. "Haha...baiklah, assalamu'alaykum wr wb" ujar ilvi masih dengan candaannya. "wa'alaykumussalam wr wb, apaan sih Sil! pagi2 udah ketawa lebar gitu, gak pantes seorang akhwat terbahak-bahak nanti kemasukan lalat! balas Nisa. "Ups...iya deh iya...gitu aja marah, cepet tua loh nanti, hihi...jadi gimana dong dengan pertanyaanku kok belom dijawab?"tanya Silvi sambil menggodanya. "Huuh...gak tau ya si Neng ini aku lagi ngapain? Udah jelas2 ngerjain sesuatu," jawab Nisa gemes. "Ow...masak sih? jangan2 mikirin pangeran berkuda putih yang siap melamarmu ya?" godanya lagi. "Au ah Sil!" balas Nisa cuek.

 Namun tak dapat disangkal di dalam hati kecilnyaterpendam keinginan untuk menikah. Keinginan itu sudah ada sejal semester 5 masa perkuliahannya. Keinginannya timbul karena ia ingin lebih menjaga diri dari pergaulan yang kian Vulgar, lagipula ia sudah siap menggenapkan setengah diennya. Niatan baik itu pernah ia utarakan pada sahabatnya yang lain yaitu Aisyah. Aisyah sangat mendukungnyadan akan membantu mencarikan jodoh, apalagi dia sendiri juga sudah menikah.

"Triit...triit...triit..." ponsel NIsa bergetar ada pesan masuk. "Nisa ada kabar baik ^_^. Ada ikhwan yang siap menikah dan minta dicarikan calon istri. Dia adalah teman Mas Arif. Oh ya, biodata ikhwannya baru akan dikasihkan sore ini ke Mas Arif. Biodatamu kan sudah di aku, kalau kamu setuju nanti bodatanya dikasihkan ke ikhwannya lewat Mas Arif. Segera balas ya?" bunyi pesan dari Aisyah. Nisa langsung membalas pesan tersebut dan menyanggupi untuk ta'aruf. Dia menyetujuinya dan berlangsunglah ta'aruf antara dia dan ikhwan bernama Reza.

Minggu pagi yang cerah. Nisa berniat menyampaikan niatannya menikah dengan Reza. Dia dan kedua orang tuanya duduk di ruang keluarga. “Ada apa toh nduk, kok belum dimulai pembicaraannya?” tanya Bapaknya. Nisa tampak ragu-ragu, dalam hatinya dia berdoa “Ya Alloh, tenangkanlah hati dan lancarkanlah lisanku untuk menyampaikan hal ini pada mereka.” Sambil membenarkan tempat duduknya, Nisa pun mulai bicara. “Begini Pak…Bu…ada seseorang yang berniat melamar saya. Kami sudah melakukan perkenalan satu sama lain. Ini biodata orang tersebut,” jelasnya perlahan-lahan seraya menunjukkan biodata Reza.

Lama Bapak dan Ibunya membaca dan mengamati dengan seksama biodata itu. “Apa kamu yakin akan menikahinya?” tanya Bapaknya memecah keheningan. “InsyaAlloh Pak, saya juga sudah istikharah dan yakin dengan pilihan saya. Menurut Bapak dan Ibu bagaimana?” ungkapnya. “Hmmm…gimana ya nduk? Hati Bapak ndak berkenan dengan lelaki ini, iya toh Bu?”. Sang Ibu yang ditanyai diam saja, namun kebimbangannya tak dapat disembunyikan. Entah bimbang pada Reza yang akan melamar putrinya atau bimbang mengutarakan pendapatnya pada suami yang dihormatinya. “Lagipula kamu masih kuliah. Sudahlah, selesaikan saja kuliahmu. Ndak usah mikirin nikah dulu. Kalau kamu nikah sekarang, beban pikiranmu menumpuk,” jelas Bapaknya. “Tapi Pak, insyaAlloh saya sudah siap. Bukannya dalam islam, jika ada anak gadis sudah siap menikah maka seorang Bapak wajib menikahkannya,” terang Nisa dengan sabar. “Tapi kan ndak serta merta begitu!” sahut Bapaknya tak menerima. “Ndak serta merta begitu bagaimana Pak? Saya ndak paham. InsyaAlloh reza orang yang sholeh dan bertanggung jawab. Bukankah itu baik Pak?” jelas Nisa. “Pokoknya Bapak ndak mau punya mantu macam dia. Lihat saja jenggotnya yang tumbuh memenuhi dagunya. Apa kata orang nanti? Bapak disangka punya mantu teroris,” dalih Bapaknya dengan suara tinggi. “Astaghfirulloh…hanya gara-gara jenggot Bapak ndak suka padanya. Itukan sunnah Rasul. Cobalah Bapak pertimbangkan terlebih dahulu. Ibu…bagaimana dengan Ibu?” harap Nisa dengan mata berkaca-kaca. “Bapak dan Ibu pokoknya ndak setuju, titik!” bentak Bapaknya. “Tapi Pak…” belum sempat meneruskan kalimatnya, sang Bapak meninggalkan ruang keluarga dengan amarahnya. Sang Ibu hanya bisa menenangkan putrinya yang sedang menangis, “Maafkan Ibu…nduk…ndak bisa berbuat apa-apa. Tapi sebenarnya Ibu juga kurang sreg, bukan karena jenggot lelaki itu.” kata sang Ibu sambil memeluknya.

Keesokan harinya, Nisa menceritakan kejadian kemarin pada Aisyah dan Silvi. “Sabar ya Nis. InsyaAlloh ada yang lebih baik menantimu dan semoga hati kedua orang tuamu luluh.” hibur Aisyah seraya memeluknya. “Benaarrr kata Ais…yuk mari semangaaat!” seru Silvi memberi semangat. Akhirnya Nisa tersenyum dan ketiganya tertawa bersama-sama.

Hampir satu tahun berlalu, Nisa dan Silvi masih berkutat dengan tugas akhirnya yang menuju tahap akhir. Nampak pada wajah mereka kejenuhan, karena hampir setiap hari mereka berdua harus berada di lab. “Eh Sil, hari ini ada kajian di Masjid kampus. Ikutan yuk, sambil refreshing kan! Temanya bagus lho, tentang pernikahan.hehe…” ajak Nisa. “Waah…boleh juga tuh, sapa tahu nanti ada ikhwan yang mau ngajak kita nikah ya, horay!…seperti kata pepatah, sambil menyelam minum air…hehe.” canda Silvi. “Huuh…dasar becanda aja…hehe” seru Nisa.

    Keduanya merasa mendapat penyegaran setelah mengikuti kajian. Tanpa disadari oleh kedua gadis itu, pepatah yang diucapkan Silvi seolah sihir bagi mereka sendiri. Sesampainya di rumah masing-masing, mereka terkejut membaca pesan dari ponselnya. Silvi mendapat tawaran ta’aruf dari mentornya dengan seorang ikhwan bernama Iqbal. Bahkan tak pernah terpikirkan olehnya, akan secepat itu mendapat tawaran untuk ta’aruf, “Haah…benarkah ini!! Ya Alloh, aku tak pernah berpikir bakal secepat ini. Dengan Iqbal?? bukannya dia ikhwan yang cerewet dan perfeksionis...ups…astaghfirulloh. Apa yang ada dibenaknya, mengajukan ta’aruf denganku? Ah…rahasia Alloh sapa yang tahu.” Sedangkan Nisa mendapat pesan dari temannya semasa SMA, dia bernama Ilham. Sewaktu kajian tadi, dia bertemu dengan Nisa. Pertemuannya di Masjid itu, membuat perasaan yang ia pendam selama ini muncul kembali bagaikan bunga-bunga bermekaran. Sebenarnya Ilham sedari dulu menyukai Nisa, namun dia tidak berani mengutarakannya karena ia merasa tak tepat untuk menyatakan perasaan itu. Ia berharap jika dipertemukan lagi dengan Nisa, dia siap untuk melamarnya. Setelah menanyakan kabar dan berbasa basi, Ilham mengutarakan perasaan yang ia pendam selama ini dan bermaksud melamar Nisa. Sontak saja Nisa terkejut akan tetapi dia meminta istikharah dan berpikir terlebih dahulu. Jika memang hatinya mantap, dia menyuruh Ilham langsung menemui Bapaknya.
 Setelah melakukan istikharah dan mempertimbangkannya, Nisa menyetujui lamaran Ilham. Keesokan harinya Ilham bertandang ke rumah Nisa dan menemui Bapaknya. Pembicaraan mereka berdua cukup alot, Nisa pun turut mendengarnya di balik tirai pemisah antara ruang tamu dan ruang keluarga. Bapaknya menolak lamaran Ilham, beliau menilai dia tak pantas untuk putrinya karena umur mereka sama dan Nisa belum menyelesaikan studinya. “Ah…alasan apalagi itu ya Alloh,” batin Nisa. “Saya mohon Bapak mempertimbangkannya terlebih dahulu. InsyaAlloh saya bisa membahagiakan Nisa,” harap Ilham. Namun akhirnya Ilham tak mampu lagi memaksakan kehendak Bapaknya Nisa, lalu dia pulang meninggalkan rumah Nisa dengan perasaan sedih. Keinginan Nisa pun tertunda lagi. “Maafkan aku Nis. Bukannya aku putus asa tapi aku tak mampu menentang kehendak Bapakmu, mungkin kita tidak berjodoh. Semoga kita sama-sama mendapatkan jodoh yang terbaik,” bunyi pesan yg dikirim Ilham untuk Nisa. Nisa tak mampu membalasnya dan ia hanya menitikkan air mata yang tak sanggup dibendungnya. 

Pernikahan Silvi dan Iqbal tinggal menghitung hari. Kedua orang tua mereka telah merestuinya. Nisa dan Aisyah turut bahagia mendengar kabar tersebut. Namun dalam hati Nisa tersimpan kesedihan, hal itu disadari oleh kedua sahabatnya. “Nisa yang sabar ya! insyaAlloh sebentar lagi pernikahanmu akan digelar,” ucap Silvi sambil tersenyum. “Iya Nis, ingat bahwa janji Alloh itu pasti bagi hamba-hambaNya yang beriman,” lanjut Aisyah. Nisa pun membalasnya dengan senyuman walaupun sebenarnya mereka tidak tahu kejadian yang telah menimpanya. “Aku tak ingin merusak kebahagiaan Silvi dengan kesedihanku,” batin Nisa

Sore hari yang cerah di TPA Al-kautsar, Nisa sibuk mengajari anak-anak membaca Al-qur’an. Enam bulan berlalu sejak kelulusannya sebagai sarjana, dia telah bekerja di balai penelitian dan mengajar di TPA yang berada di kotanya bersama Aisyah dan Silvi. Kedua sahabatnya tersebut sekarang sedang mengandung, terbesit rasa iri di hati Nisa. Dalam benaknya dia berkata, “Kira-kira kapan ya, Alloh akan segera mengamanahi aku. Ah…Alloh akan segera mendatangkan pangeran itu padaku. Aku tidak akan bersedih lagi, karena aku yakin janji Alloh itu pasti."

Hari itu pun tiba, min haitsu laa yahtasib (datang begitu cepat dan tidak disangka-sangka). Seorang ikhwan bernama Fahmi yang juga mengajar di TPA Al-kautsar datang ke rumah Nisa dengan maksud melamarnya. Dia sudah tahu dari Arif tentang Nisa dan bagaimana Bapaknya. Setelah istikharah dan berbagai pertimbangan dia mantap untuk melamar Nisa. Kedatangannya tanpa sepengetahuan Nisa, dia dan Bapaknya Nisa berbincang-bincang lama.

Setelah kedatangan Fahmi ke rumahnya, Bapaknya menceritakan hal itu kepada Nisa. Entah angin apa yang membuat hati Bapaknya tidak sekeras waktu dulu, yang menilai rupa dan penampilan seseorang. Bapaknya menyerahkan biodata Fahmi dan menyerahkan segala keputusan ada padanya. Sungguh Nisa sangat bahagia, istikharah ia lakukan untuk memantapkan hatinya. Dalam sepertiga malamnya dia menangis bahagia. “Ya Rabb, Engkau tak akan pernah mendustakan janjiMu yang terangkai dalam untaian indah firmanMu pada Alqur’an. Maafkan hambamu yang selalu meragu. Terima kasih atas jawaban indahMu ini.”

Terbayarlah sudah penantian gadis berumur 22 tahun itu. Pernikahannya berjalan lancar dan sungguh mengharu biru hatinya, tak kuasa ia menahan tangisnya. Aisyah dan Silvi turut hadir pada acara pernikahannya dan mengantarkan kebahagiaan kedua mempelai dengan seuntai doa yang mereka panjatkan. 
 
“Sayang…kok melamun aja sudah mau maghrib, yuk ambil wudhu terus kita sholat berjamaah. Lho…kenapa menangis?”  tegur Fahmi membuyarkan lamunannya. “Ah…gak apa-apa Mas. Nisa cuma terharu mengingat perjalanan Nisa hingga akhirnya dipertemukan dengan Mas Fahmi,” keduanya tersesnyum bahagia dan bergegas untuk melaksanakan sholat maghrib.

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS